.....................................................................................................................................................
Melihat begini, anganku melayang terbang jauh melintasi dimensi waktu. Jauh di penghujung tahun yang lalu, ketika semua masih normal.
Di suatu malam di penghujung tahun yang lalu, kita bercengkerama akrab di balkon rumahmu. Langit malam itu penuh bertabur bintang, dan beberapa ekor kunang-kunang menari-nari centil di atas kepala kita. Di bawah keajaiban malam itu kau bercerita riang akan kejadian hari itu. ku dengar kata demi kata yang kau tutur dengan penuh perhatian. Aku begitu bahagia dengan suasana itu.
Kemudian anganku terbang menuju suatu waktu, di mana aku harus menyaksikan kejadian mengerikan itu. aggghhhhh…….aku tak kuat
“re…kamu kenapa?” seseorang menepuk pelan bahuku, membuat anganku kembali ke tempat kini kuberpijak. Untuuuuuung saja. Sangat tepat waktu.
“sudahlah nak, jika memang datang dari hati maka suatu saat nanti pasti akan muncul kembali..” kata seorang wanita cantik dihadapanku, senyumnya sungguh mempesona, seperti bunga mawar yang merekah. Ucapnya sungguh menenangkan hatiku, tapi aku masih heran, dari mana mama tahu aku sedang memikirkan hal itu?! mama melanjutkan petuahnya dengan sabar, “tak perduli biarpun ia amnesianatau apapun. bersabarlah nak..bla bla bla.” Semakin lama kata-kata mama samar-samar saja kudengar.
Yaa..aku memang takut, aku takut dia meninggalkanku. Aku takut dia lupa akan perasaannya yang dulu, walaupun sebenarnya memang dia telah lupa. Dia lupa segalanya, dokter memvonisnya amnesia akibat kecelakaan di awal tahun ini. Pria yang malang.
Sejak saat itu semuanya berubah. Keakraban yang baru terjalin beberapa bulan, harus pupus oleh kecelakaan itu. aku akui, dulu kami memang seperti anjing dan kucing atau seperti minyak dan air yang tak pernah bisa akur. Keluarganya adalah pendatang baru di desaku, di awal kepindahannya ia begitu acuh padaku, ia seperti menganggap ku tak pernah ada. Dan nyatanya, ia menganggapku sebagai tetangga depan rumah biasa. Dan aku bersyukur untuk itu, karena dulu aku membencinya, sungguh benci. Pernah terbersit sebuah pikiran di benakku, bahwa aku tak ingin mengenalnya, sampai kapanpun!
Namun, tuhan berkehendak lain, suatu keajaiban datang ke tengah-tengah kami, sehingga kami bisa menjalin sebuah pertemanan yang kian lama kian akrab. Dari yang semula hanya saling berucap “hai”, kemudian “sedang apa?”, lalu “apa kau sibuk?” Hingga “bagaimana kalau kita pergi bersama?” Hampir setiap sore hari, kami bermain basket di halaman rumahku, ia selalu menantangku dan itu membuatku bersemangat.
Namun kini semuanya harus berulang, dari awal, benar-benar dari awal. Sama persis seperti saat kepindahannya.
“kania…… ayo sarapan“
Subhanallah..apa yang kulakukan dari tadi? Aku melamun, ya aku melamunkan dia. Begitu asyiknya aku melamun, sampai-sampai aku tak merasakan langkah kaki mama tadi.
“iya ma…” kujawab sambil menyapukan mataku ke arah rumahnya. Ia sudah tak ada, sepertinya sudah selesai dia mencuci kuda bajanya. Lalu aku melangkah keluar, dan memulai sarapan pagiku.
***
Kata mama, tadi aku terlihat begitu gelisah dan pandangan mataku kosong tak berfokus. Mungkin mama merasa kasihan pada anak putrinya ini, sehingga ia membiarkanku pada lamunan itu.
Kini tiba saatnya aku berangkat kuliah. Mama sudah berangkat bersama papa beberapa menit yang lalu, tinggal aku yang tersisa. Aku melangkah keluar rumah, di luar aku disambut seorang paman (supir pribadi yang aku anggap sebagai paman sendiri).
“ayo mbak berangkat….” Tuturnya lembut
“ahh..aku berangkat sendiri aja paman…nggak apa-apa kok, aku bisa. Ok? ” kusunggingkan senyum untuk paman, sebagai sogokan.
Aku hanya ingin semua seperti biasa lagi, seperti dulu, sebelum tahun ini berawal. Bersepeda bersamanya ke kampus, kebetulan kampus kami tak begitu jauh dari rumah, dan dulu kami selalu bersepeda. Beriringan sepanjang jalan, bersenda gurau di atas sepeda masing-masing atau terkadang kalau malas, aku memboncengnya. Hihi..lucu sekali
Kuambil sepeda violetku, kukayuh dengan penuh semangat, kulambaikan tangan pada paman –layaknya putri kate yang hendak pergi-. Sekitar 5 atau 6 kayuhan sepeda, sampailah aku dirumahnya, kutarik rem sepeda dan kutapakkan sebelah kakiku ke aspal.
“Kak agaaa……ayo berangkat” aku memanggilnya dari balik pagar besi rumahnya, sperti ini yang selalu aku lakukan. Begitu juga selama 2 hari yang lalu. Aku cukup senang.
“ngapain kamu disitu? Aku bisa berangkat sendiri kok!” katanya ketus sambil menguyah roti di mulutnya yang belepotan selai blueberry. Pemuda itu terlihat kerepotan dengan penampilannya, kancing kemejanya naik satu tingkat dari seharusnya, tasnya digendong sebelah bahu dengan resleting yang masih terbuka hingga secarik kertas bergambar denah rumahnya mencuri lihat ke dunia luar tas, ku sela dia di tengah kesibukannya
“kancing kemejamu kak…hahahaa” kubilang. Dan ia mengacuhkanku begitu saja.
Dan satu lagi, tampaknya kaos kakinya berbeda warna –kalau aku tak salah lihat- ckckckkk. Dan ternyata benar, karena seketika itu juga ia lenyap ke dalam rumah dan keluar dengan penampilan yang berbeda. Kali ini sangat rapi. Perfect…
Ia samasekali mengacuhkanku, sangat cuek, seperti tak menyadari keberadaanku disana. Aku benar-benar seperti mengulang waktu, waktu dimana aku dan dia masih seperti embun dan daun talas. Oh tuhan….mengapa harus terjadi lagi?
akuriu
0 komentar:
Posting Komentar