......................................................................................................................................................
.....................................................................................................................................................
Ia samasekali mengacuhkanku, sangat cuek, seperti tak menyadari keberadaanku disana. Aku benar-benar seperti mengulang waktu, waktu dimana aku dan dia masih seperti embun dan daun talas. Oh tuhan….mengapa harus terjadi lagi?
Tapi bedanya, kali ini aku mencoba menjadi embun yang baik. Dengan penuh harap aku selalu mencoba merasuk ke cela-cela daun. Mencoba meresap dan melebur di dalamnya. walau kini sang daun talas memiliki zat penangkal air yang sangat hebat.
Sesaat kemudian, kak Aga keluar menunggang kuda bajanya. Ia nyalakan mesin, lalu berbelok. Masih mengacuhkanku. Sebenarnya aku ingin menangis saat itu juga, bukan karena ia meninggalkanku, melainkan karena perubahan ini. Tapi aku mencoba untuk tegar, demi dia.
Dengan tekad kuat untuk mulai mengembalikan ingatan Aga, kukayuh sepedaku menyusul Aga. Laju kudanya tak begitu cepat hingga aku bisa menyusulnya. Aku mengambil tempat di sebelahnya, lalu berceloteh seraya berteriak.
“Kak..ingat nggak dulu kita selalu bersepeda lewat jalan ini ?”
Tak ada jawaban, yang ia lakukan hanya menutup kaca helm dan mempercepat laju kudanya. Tampaknya ia benar-benar alergi padaku. melihat responnya, seakan ia melihatku sebagai bom waktu, yang bisa meledak kapan saja sehingga ia perlu untuk menghindar bahkan menjauh dariku. Fuuuhh……… tapi aku takkan menyerah. Kukayuh lebih cepat sepedaku hingga aku berhasil mensejajarkan diri dengannya. Sekali lagi aku berceloteh sedikit berteriak
“lihatlah trotoar itu, masih sama seperti dulu, masih dipenuhi pedagang jajanan tradisional. Dan lihat di sana, itu kumpulan bocah kecil penjual Koran, kau sering berkata “kasihan mereka, kalau saja aku punya panti asuhan, aku tak akan membiarkan mereka seperti itu” . Dan dulu kita sering ke sini sekedar untuk memotret kehidupan di sini. Lalu lihat di sebelah sana, danau kota yang rindang, dulu kita sering sekali ke sana.. blab bla bla” aku berteriak-teriak sepanjang jalan. Mungkin aku hampir mirip orang gila kalau saja aku tak berpakaian rapi. Dan sekali lagi tak ada jawaban, Aga semakin mempercepat laju kuda bajanya.
Sedetik kemudian, sampailah kami di kampus……..
Layaknya kampus lain, kampus kami tak pernah sepi. Sampai di sini, kami harus berpisah jalan, itu karena kami berbeda jurusan. Dia di arsitektur, dan aku di kebidanan.
akuriu
0 komentar:
Posting Komentar